Agroteknologi.umsida.ac.id – Tragedi banjir bandang yang menimpa berbagai daerah di Indonesia bukan sekadar bencana alam yang terjadi secara tiba-tiba.
Dalam wawancara bersama Dosen Agroteknologi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Rohma Nurmalasari SP MP terungkap bahwa bencana tersebut merupakan akibat dari akumulasi kerusakan lingkungan, khususnya penebangan kayu besar-besaran tanpa tanggung jawab dan tanpa proses reklamasi yang semestinya dilakukan.
Penebangan Kayu dan Hilangnya Jerapan Akar
Dosen Agroteknologi Umsida menjelaskan bahwa kayu glondong saat ini banyak digunakan untuk kepentingan manusia maupun perusahaan.
Namun, praktik tersebut sering kali melibatkan pihak-pihak tertentu yang memiliki pengaruh dan melakukan illegal logging secara bebas.
“Kayu glondong dipakai untuk keperluan manusia maupun perusahaan tertentu, atau oknum-oknum tertentu yang punya kuasa untuk bebas illegal logging,” ujarnya.
Masalah utama bukan pada penggunaan kayunya, tetapi pada tidak adanya proses penanaman kembali setelah penebangan. Ia menegaskan bahwa setelah pohon ditebang, seharusnya dilakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Sayangnya, penebangan yang dilakukan secara masif tanpa tebang pilih menyebabkan berkurangnya daya jerap air karena akar pepohonan yang kuat telah hilang.
Sawit Bukan Satu-satunya Penyebab dan Ketiadaan Tebang Pilih
Terkait anggapan bahwa tanaman sawit menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan, dosen tersebut menjelaskan bahwa sawit tidak dapat sepenuhnya disalahkan. Menurutnya, sawit memang memiliki sistem perakaran yang tidak terlalu kuat, namun persoalan sebenarnya terletak pada hilangnya pohon-pohon besar yang memiliki akar kuat penahan air.
“Jadi tidak bisa disalahkan sawit sepenuhnya, sawit itu tidak mempunyai jerapan yang kuat, dan tidak mempunyai perakaran yang besar,” terangnya.
Seharusnya dilakukan sistem tebang pilih untuk menjaga kestabilan struktur tanah dan kemampuan lahan dalam menyerap air.
Ia menambahkan bahwa banjir bandang yang terjadi saat ini merupakan hasil dari proses panjang selama 5-10 tahun terakhir ketika hutan mulai ditebang tanpa kontrol.
Intensitas hujan yang normal sekalipun menjadi ancaman karena tidak ada lagi penahan aliran permukaan.
Akibatnya, tekanan air meningkat dan menyebabkan bencana besar.
“Banjir yang sekarang dialami saudara-saudara kita merupakan bom waktu,” tegasnya.
Pentingnya Rehabilitasi dan Penegakan Regulasi Lingkungan
Ia menegaskan bahwa penebangan pohon harus disertai penanaman kembali menggunakan jenis tanaman yang memiliki perakaran kuat untuk memulihkan fungsi tanah.
Tidak semua jenis pohon cocok untuk reklamasi; diperlukan spesies tertentu yang mampu memperkuat stabilitas tanah dan meningkatkan daya serap air.
Proses rehabilitasi pun membutuhkan waktu panjang dan keseriusan dalam pelaksanaannya.
Lebih dari itu, dosen tersebut menyoroti pentingnya adanya undang-undang dan pengawasan yang tegas untuk mendorong tanggung jawab bersama.
“Harusnya ada UU yang mengikat, sehingga ada responsibility, dan tanggung jawab dari masyarakat, tidak hanya oleh pemerintah namun juga stakeholder,” jelasnya.
Ia menilai bahwa pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah, melainkan harus melibatkan semua pihak, mulai dari masyarakat, akademisi, swasta, hingga lembaga pengelola sumber daya alam.
Dari wawancara ini dapat disimpulkan bahwa bencana banjir bandang bukanlah peristiwa alamiah yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari praktik penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab sejak bertahun-tahun lalu.
Kunci pencegahan terletak pada pengelolaan hutan yang berkelanjutan melalui sistem tebang pilih, reklamasi, dan rehabilitasi lahan dengan tanaman berakar kuat.
Selain itu, diperlukan peraturan yang jelas dan penegakan hukum yang kuat agar semua pihak memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan dan menghindari bencana di masa depan.
Penulis: Novia Ayu Hafidah











